Oleh : Try Ana Suryani
(Kader Klinik Etik dan Advokasi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman 2022)
Indcyber.com,Samarinda – Salah satu perwujudan dari konsep negara hukum yang dianut oleh Indonesia adalah terbentuknya lembaga peradilan yang bersifat independen dan imparsial. Artinya, dalam menegakkan keadilan, produk hukum berupa putusan yang dihasilkan haruslah bersih dari intervensi pihak lain dan tidak bersifat memihak.
Dalam prosesnya, jalannya sistem peradilan di nahkodai oleh yang mulia Hakim. Sebagai profesi yang menuntun jalan menuju keadilan, jabatan seorang Hakim haruslah dibarengi dengan penerapan kode etik secara konkrit. Hal ini menjadi krusial agar Hakim terhindar dari perbuatan-perbuatan menyeleweng yang mendegradasi nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, seorang Hakim tidaklah bisa berjalan sendiri. Melainkan, perlu ditunjang oleh komponen-komponen lain yang kooperatif sehingga peradilan dapat berjalan sesuai kaidah yang ada.
Namun, acap kali kita dapati bahwa proses persidangan tak berjalan mulus sesuai yang diharapkan. Bahkan hingga di usia pengadilan yang tak lagi muda ini, tindakan-tindakan yang mencederai marwah pengadilan masih marak terjadi di berbagai daerah. Entah disebabkan oleh Hakim yang menyelewengi kode etik, pihak-pihak yang melakukan intervensi terhadap hasil putusan Hakim, ataupun Aparat Penegak Hukum (APH) dan masyarakat yang bertindak dengan mengindahkan tata tertib persidangan.
Tak bisa dipungkiri, terjadinya beberapa tindakan yang mencederai marwah pengadilan ini dipicu oleh putusan Hakim yang dinilai tidak mengusung nilai-nilai keadilan bagi salah satu pihak. Sehingga, muncul sikap-sikap anarkis yang tidak mencerminkan integritas pengadilan.
Memahami Hakikat dan Etika Profesi Hakim
Sejatinya, Hakim merupakan profesi dengan kedudukan yang begitu mulia (officium nobile). Bahkan tak jarang terdengar istilah bahwa Hakim merupakan “wakil Tuhan” yang ada di jagat dunia. Istilah tersebut telah menggambarkan seberapa terhormatnya kedudukan Hakim dengan kewenangannya dalam menentukan benar-salah suatu perkara. Yang tentunya, telah melalui serangkaian telaah objektif sebelum dituangkan ke dalam sebuah Putusan.
Termuat dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Hakim dimaknai sebagai suatu kekuasaan yang bersifat independen dalam penegakan hukum dan keadilan melalui serangkaian proses peradilan, hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (1). Berangkat dari pemaknaan tersebut, dapat dipahami bahwa Hakim merupakan sosok pemegang peran utama (figure sentral) dalam merawat hukum dan menegakkan keadilan di Indonesia.
Sebagai aktor utama yang melaksanakan penegakan hukum dan keadilan, tindakan seorang Hakim dalam menjalankan profesinya haruslah dibarengi dengan etika sebagaimana tertuang dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Berdasarkan Keputusan tersebut, etika dimaknai sebagai sekumpulan nilai yang menyangkut terkait sikap benar dan salah yang dianut oleh masyarakat. Kewajiban seorang Hakim yang diharuskan untuk mengimplementasikan KEPPH tak lain disebabkan oleh cara pandang masyarakat yang menempatkan Hakim sebagai titik sentral pemegang kekuasaan penentu keadilan. Sehingga, baik di ruang sidang maupun di kehidupan sehari-harinya, seorang Hakim haruslah memelihara marwah, kehormatan, dan keluhuran martabat yang melekat pada dirinya.
Sengkarut Budaya Tertib Berakibat PMKH
Berjalannya peradilan yang bersih dan sehat serta bebas dari PMKH merupakan keinginan bagi kita semua. Yang tentunya, hal ini dapat terlaksana melalui pola kesadaran hukum dan pemahaman terkait tata tertib Persidangan yang tertanam dalam diri setiap individu. Didukung dengan etika yang baik, maka sejatinya peradilan yang bebas dari PMKH akan semakin dekat dengan puncak perwujudan.
Namun, cukup disayangkan ketika cita yang ada nyatanya tak sejalan dengan realita. Dewasa ini, secara faktual masih marak terjadi PMKH di berbagai Rumah Keadilan yang ada di Indonesia. Zona Integritas yang terpampang nyata di muka Pengadilan bak sekadar aksentuasi yang tak diindahkan. Yang lebih disayangkan lagi ialah, tak melulu dilakukan oleh masyarakat biasa, PMKH nyatanya juga dilakukan oleh APH yang seharusnya menjadi figure bagi masyarakat untuk tidak mencederai martabat Hakim dan Pengadilan.
Berdasarkan pada beberapa persidangan yang pernah Penulis amati, setidak-tidaknya ada 4 (empat) sikap PMKH yang sering dilakukan oleh pengunjung sidang saat proses persidangan tengah berlangsung. Perbuatan tersebut meliputi:
- Menyilangkan kaki ketika duduk;
- Mengobrol hingga suaranya terdengar oleh pengunjung sidang lain;
- Memainkan ponsel hingga mengeluarkan suara; dan
- Memotret atau merekam jalannya proses persidangan.
Bahkan tak jarang, beberapa tindakan tersebut berbuah teguran dari Majelis Hakim.
Pada momen persidangan lainnya, pernah Penulis dapati juga seorang APH melakukan tindakan yang terindikasi sebagai PMKH. APH tersebut menghentakkan kakinya dengan keras sesaat sebelum Hakim selesai membacakan Putusan. Tidak selesai sampai disitu, tindakan tersebut dilanjutkan dengan membanting pintu sembari keluar dari ruang sidang. Tindakan ini disinyalir terjadi sebagai bentuk sikap ketidakpuasan atas produk Putusan yang dikeluarkan oleh Hakim. Sikap APH tersebut telah melambangkan ketidakhormatan terhadap Hakim dan jalannya proses persidangan. Hal semacam ini menjadi bukti konkrit bahwa rupanya tata tertib yang ada di Pengadilan belum diimplementasikan secara utuh oleh Aparat dan masyarakat. Padahal, selaku subjek yang memiliki dasar dan pemahaman tentang hukum, seorang APH seyogyanya dapat menjadi perpanjangan tangan untuk turut menggaungkan edukasi seputar PMKH kepada masyarakat luas. Namun ketika seorang APH justru menjadi pelaku dari PMKH itu sendiri, maka implikasinya akan turut mempengaruhi kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap proses peradilan yang berjalan di Indonesia.
Urgensi dan Upaya Pemeliharaan Marwah Hakim Untuk Masyarakat Anti PMKH
Disamping menjalankan perannya dalam merawat hukum dan menegakkan keadilan di Indonesia, marwah seorang Hakim menjadi hal krusial yang harus senantiasa dijaga. Hal ini disebabkan oleh cara pandang masyarakat yang menempatkan Hakim sebagai titik sentral pemegang kekuasaan penentu keadilan. Sehingga penting adanya penjagaan marwah Hakim dan Pengadilan untuk meningkatkan kepercayaan publik (public trust).
Upaya penjagaan terhadap kehormatan dan keluhuran martabat Hakim dapat dilakukan melalui pengimplementasian secara konkrit Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) oleh Hakim itu sendiri.
Menurut KEPPH, setidak-tidaknya ada 10 (sepuluh) poin penting yang harus senantiasa dijunjung oleh Hakim baik di dalam maupun diluar proses persidangan, antara lain harus berperilaku adil; berperilaku jujur; berperilaku rendah hati; bersikap mandiri; berintegritas tinggi; bertanggung jawab; menjunjung tinggi harga diri; berdisiplin tinggi; berperilaku arif dan bijaksana; dan bersikap profesional.
Selain pengimplementasian KEPPH, terdapat juga pihak-pihak lain yang turut berperan dalam menjaga kehormatan dan keluhuran martabat Hakim, seperti sinergitas pola pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial bersama Aparat Penegak Hukum (APH) dan/atau masyarakat umum. Dengan terlaksananya penjagaan dan pengawasan ini, diharapkan agar public trust terhadap Hakim dan Pengadilan dapat meningkat sehingga masyarakat turut terhindar dari Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH).
Untuk meminimalisir terjadinya PMKH, seorang APH juga sejatinya dapat turut memberikan sumbangsih peran dalam mengedukasi masyarakat. Misalnya, seorang Advokat dapat memahamkan kliennya bahwa ketika terdapat ketidakpuasan terhadap putusan Hakim, masih ada upaya lanjutan yang disebut Banding. Atau apabila putusan maupun tindakan serta sikap Hakim dinilai menyalahi KEPPH, maka dapat mengajukan laporan kepada Komisi Yudisial untuk ditindaklanjuti secara hukum.
Komisi Yudisial yang lahir dari amandemen ketiga UUD 1945 sejatinya telah mengakomodir penjagaan dan penegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim, hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 24B ayat (1). Untuk itu, mari bersinergi bersama menjaga marwah Hakim dan Pengadilan di Indonesia. Ambil peranmu dan jadilah masyarakat anti PMKH.