Teks Syi’ir Ujud-ujudan Warisan Kyai Ageng Muhammad Besari Tegalsari, Ponorogo.
Editor:Slamet Pujiono
INDCYBER.COM, PONOROGO – Asyhadu allailahaillallah wa asyhaduanna muhammadarasulullah.
Ameruhi ingsun setuhune ora ana pangeran kang sinembah
Kelawan sak benere kang wajib wujude kang mohal ngadani
Kang mesti anane anging Allah
Kang ameruhi ingsun setuhune kanjeng Nabi Muhammad iku
Utusane Allah kang Rama Raden Abdullah kang Ibu Dewi Aminah
Ingkang lahir ana Mekah gerah ing Madinah seda ing Madinah sinareaken ing Madinah
Bangsane bangsa arab bangsa Hasyim/Rasul bangsa Quraish.
Itulah sepenggal syair yang dibacakan dalam Syi’iran Ujud-ujudan dan Utawen, sebuag warisan leluhur di Masjid Jami’ Tegalsari, Kecamata Jetis, Ponorogo. Tradisi pujian tembang Jawa Syi’ir Ujud-ujudan, dibaca dengan cengkok Jawa lokal khas Tegalsari.
Syi’iran Ujud-ujudan dan Utawen ini dipercaya kuat oleh masyarakat Tegalsari adalah warisan otentik dari Kiai Ageng Muhammad Besari, pendiri Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari pada tahun 1700-an. Ujud-Ujudan selalu rutin dibaca di hari Jum’at ba’da shalat Subuh.
Menurut Imam Masjid Tegalsari, KH. Syamsuddin seperti dilansir indcyber.com dari Timesindonesia.co.id Syi’ir Ujud-ujudan ini sudah dari turun temurun bahkan di salah satu kitab kuno yang tersimpan di rumahnya, tertulis jelas syi’iran ini ciptaanya Mbah Ageng Besari.
“Warisan mbah-mbah dulu tetap ada walau zaman berganti menjadi modern seperti sekarang ini,” katanya, Jumat (4/9/2020).
Utawen biasanya paling ramai di bulan puasa dan selalu ada di Desa Tegalsari, setiap bulan Ramadan di masjid tiap ba’da shalat tarawih. Tapi ada dari kelompok-kelompok tadarus yang selesai acara, selalu diakhiri Utawen.
Isi Ujud-ujudan dan Utawen adalah tentang memuji keagungan, sifat-sifat wajib Allah, rukun Islam, sejarah perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW dan sifat istimewa Rasulullah.
Menurut salah seorang warga yang biasa syi’iran, Ramlan atau yang biasa disapa Mbah Lan, dia sudah sejak muda menembangkan syi’iran tersebut.
“Sebenarnya saya tidak hafal teks syi’iran ini. Tapi karena kebiasaan, kalau sudah berkumpul kan bareng-bareng melantunkan, akhirnya jadi hafal dengan sendirinya,” jelas muadzin tertua Masjid Jami’ Tegalsari, Ponorogo ini. (*)