Polemik Pemilu 2019 antara Putusan MA dan Peraturan KPU

Indcyber.com, Jakarta – Perbedaan pendapat segi aspek hukum peraturan serta perundang-undangan faktanya sah-sah saja terjadi di negeri ini, namun untuk menemukan kesepahaman dalam berbagai sudut pandang, tentunya melalui pengujian hipotesis yang di kaji secara matang, hingga melahirkan pelurusan citra hukum yang keabsahannya dapat di terapkan, demi kebaikan, kelangsungan kehidupan berbangsa, bardaulat adil dan makmur seluruhnya.

Mahkamah Agung (MA) akhirnya memutuskan pengujian Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang mantan narapidana korupsi untuk menjadi calon legislatif. Isi putusan MA menyatakan bahwa ketentuan ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Konsekuensi yuridis dari putusan MA ini, mantan narapidana korupsi diperbolehkan untuk mencalonkan diri sebagai caleg.

Hadirnya putusan MA ini sudah selayaknya mengakhiri gesekan antara KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) soal kelayakan mantan koruptor untuk mencalonkan diri. Demikian pula perdebatan dua kubu, yang satu sisi bertumpu pada nilai HAM sehingga mantan koruptor pun diperbolehkan untuk mencalonkan diri, dan sisi yang lain dengan bertumpu pada upaya membangun integritas pemilu dan demokrasi sehingga mantan koruptor dilarang untuk mencalonkan diri, harus diakhiri.

Demikian idealnya sebuah putusan pengadilan dalam kerangka negara hukum yang menyelesaikan perdebatan antarpihak. Kendati demikian, putusan MA ini hadir bukan tanpa persoalan. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan.

Waktu Pelaksanaan Putusan

Khusus mengenai perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, yang menjadi salah satu kewenangan MA, putusan yang dikeluarkan bersifat final dan mengikat. Akibatnya, tidak ada upaya hukum lanjutan untuk menggugat putusan tersebut. Berbeda dengan putusan dalam perkara lainnya, yang masih membuka peluang terhadap upaya hukum lanjutan, seperti adanya upaya peninjauan kembali.

Sifat final dan mengikat ini memang menjadi pilihan terbaik dalam proses pengujian peraturan perundang-undangan untuk menciptakan kepastian hukum dan menghindari multitafsir. Namun, cita kepastian hukum ini hanya akan menjadi isapan jempol belaka ketika putusan yang dikeluarkan tidak dilaksanakan dengan baik. Hal ini yang sedang dihadapi oleh putusan MA soal Peraturan KPU (PKPU) ini

Pada ketentuan Pasal 8 ayat (2) Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2011 disebutkan bahwa “Dalam hal 90 hari setelah putusan MA tersebut dikirim ke Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan tersebut, ternyata Pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.”

Dengan demikian, KPU menjadi sah saja memberlakukan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 selama kurang dari 90 hari. Pada praktiknya, ini tentu menjadi persoalan yang sangat pelik. Pertama, institusi peradilan meletakkan mahkotanya pada putusan yang dikeluarkan. Tentu akan tidak ada artinya sebuah peradilan jika putusannya tidak dilaksanakan. Bayangkan saja, penetapan Daftar Calon Tetap oleh KPU jika merujuk pada jadwal yang sudah ada, akan dilaksanakan pada 20 September, satu minggu setelah putusan MA itu dikeluarkan.

Artinya, jika KPU merujuk pada PERMA Nomor 1 Tahun 2011, maka sah saja jika KPU masih memberlakukan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang mantan narapidana korupsi untuk menjadi caleg. Hal ini dikarenakan batas waktu yang diberikan PERMA adalah 90 hari. Artinya, perma tersebut masih membuka peluang untuk mengingkari putusan MA pada pemilu yang akan datang.

Kedua, putusan MA memang dikeluarkan untuk mencapai keadilan bagi seluruh warga negara. Namun, keadilan yang dicita-citakan tentu akan menjadi angan-angan saja ketika putusan yang dikeluarkan harus tertunda keberlakuannya. Di sinilah mungkin berlaku sebuah ungkapan “justice delayed is justice denied”, bahwa keadilan yang tertunda sama halnya dengan ketidakadilan. Bagaimana mungkin putusan MA ini akan memenuhi keadilan, ketika dalam pemilu yang akan datang masih potensial untuk diabaikan.

Waktu Dikeluarkan Putusan

Merujuk pada ketentuan Pasal 55 Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, dengan tegas disebutkan bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh MA wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian tersebut sedang dalam proses pengujian di MK. Jangka waktu penghentian ini yaitu sampai dengan adanya putusan MK. Hal ini wajar, karena dikhawatirkan undang-undang yang menjadi dasar pengujian tersebut ternyata bertentangan dengan UUD 1945. Sebagaimana diketahui, UU Nomor 7 Tahun 2017 ini hingga sekarang masih sedang diujikan di MK.

Beberapa ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017 yang diajukan ke MK untuk diujikan, sekilas memang tidak berhubungan dengan ketentuan legalitas mantan koruptor untuk menjadi caleg. Namun, pilihan MA untuk mengeluarkan putusan sebelum adanya putusan MK tetap tidak dapat dibenarkan. Pertama, putusan MA ini melawan Pasal 55 Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Kedua, kendatipun hal yang diujikan ke MK tidak berhubungan dengan materi PKPU yang diujikan ke MA, tetap ada kemungkinan MK akan memutus yang berhubungan dengan PKPU. Hal ini melihat beberapa putusan MK terdahulu yang tidak jarang memutuskan melebihi yang dimohonkan (ultra petita).

Dua Solusi

Merujuk pada persoalan putusan MA di atas, ada dua solusi yang bisa ditawarkan. Pertama, MA sebaiknya segera merevisi ketentuan Pasal 8 ayat (2) Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2011 yang memberikan ruang selama 90 hari untuk kemudian menyatakan batal demi hukum sebuah peraturan yang dinyatakan bertentangan dengan undang-undang. Sudah selayaknya, peraturan yang bertentangan tersebut langsung dinyatakan batal bersamaan dikeluarkannya putusan MA.

Hal ini seperti yang diterapkan oleh MK, bahwa putusannya berlaku mengikat sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Hal ini juga merupakan usaha untuk menjamin kepastian hukum, upaya secepat mungkin membumikan nilai keadilan, serta upaya untuk meredam gejolak sosial dan politik lanjutan pasca dikeluarkannya putusan tersebut.

Kedua, agar tidak menyimpang dari batasan-batasannya sebagaimana diamanahkan oleh undang-undang, MA sebaiknya mengeluarkan putusan ketika undang-undang yang dijadikan batu uji telah selesai diputus oleh MK.

Mohammad Agus Maulidi peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) dan Mahasiswa Magister Hukum UII

di lansir dari laman detiknews

(mmu/mmu/mir)

Loading

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *