Rapat Tertutup DPRD Menyuburkan Korupsi

OLEH: HERDIANSYAH HAMZAH*

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kerap kali melakukan rapat tertutup. Khususnya jika agenda rapat berkaitan dengan pembahasan anggaran. Namun rapat-rapat yang digelar tertutup tersebut tidak pernah disertai penjelasan menyangkut apa sesungguhnya yang menjadi alasannya. Sehingga rapat-rapat itu harus dilakukan tertutup. Padahal secara prinsip, langkah dan kebijakan yang ditempuh oleh suatu lembaga negara mesti mendapatkan rasionalisasi secara objektif. Bukan atas dasar subjektivitas semata. Sebab mereka yang duduk di gedung-gedung megah itu, sejatinya hanya diberikan mandat oleh rakyat untuk mengoperasikan lembaga yang bernama DPRD ini. Jadi lucu jika si pemberi mandat justru dijauhkan dari segala informasi yang semestinya didapatkan secara layak dan terbuka.

Mungkin ada yang bertanya, apakah DPRD tidak boleh menggelar rapat secara tertutup? Tentu saja boleh. Namun dengan alasan yang bisa diterima oleh nalar publik, serta dilaksanakan secara ketat alias tidak serampangan. Justru yang terjadi selama ini, rapat-rapat tertutup yang digelar oleh DPRD dilakukan seenaknya saja. Tanpa basis argumentasi yang memadai. Bahkan bisa dikatakan, tidak ada penjelasan yang detail kepada publik apa maksud dan tujuan rapat-rapat itu harus dilakukan di luar jangkauan publik. Hal ini membuat hak-hak publik untuk mendapatkan informasi mengenai DPRD beserta segala aktivitasnya menjadi tertutup dan dibatasi. Tulisan ini sesungguhnya ingin memotret apakah rapat-rapat tertutup DPRD tersebut memiliki dasar yang kuat, atau justru merupakan upaya untuk mengelabui mata publik.

MELANGGAR NORMA

Secara normatif, semua rapat DPRD pada dasarnya bersifat terbuka. Kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup. Demikian bunyi ketentuan Pasal 126 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juncto Pasal 90 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota (PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Tatib DPRD). Namun Pasal 90 ayat (1) PP Nomor 12 Tahun 2018 tersebut tidaklah berdiri sendiri. Sebab ketentuan Pasal 90 ayat (2) PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Tatib DPRD menyebutkan secara eksplisit, “Rapat paripurna dan rapat dengar pendapat umum wajib dilakukan secara terbuka”. Frase kata “wajib” dalam ketentuan tersebut, berarti tanpa pengecualian. Alias tidak boleh tidak. Harus dilakukan secara terbuka oleh DPRD. Hal ini bertujuan membuka ruang bagi publik untuk mengawasi setiap materi yang dibahas oleh DPRD.

Di luar kedua jenis rapat tersebut, DPRD diberikan kemungkinan untuk menggelar rapat secara tertutup. Dengan catatan mendapatkan persetujuan bersama. Dalam ketentuan Pasal 90 ayat (3) PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Tatib DPRD disebutkan, “Selain rapat DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), rapat DPRD dinyatakan terbuka atau tertutup oleh pimpinan rapat berdasarkan kesepakatan peserta rapat”.

Jadi sepanjang tidak dimaknai “rapat paripurna” dan “rapat dengar pendapat umum”, maka DPRD diberikan opsi untuk menggelar rapat tertutup. Lantas apa kategori rapat yang boleh dilakukan secara tertutup tersebut? Apakah hanya berdasarkan kesepakatan peserta rapat semata? Rapat tertutup tentu saja harus disertai dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang rationable dan dapat diterima oleh nalar publik. Sebagai contoh, rapat Badan Kehormatan (BK) terkait agenda pemeriksaan anggota DPRD yang diduga melakukan pelanggaran etik. Itu bisa saja dilakukan secara tertutup. Dengan alasan keamanan serta demi kelancaran jalannya pemeriksaan.

Selain norma yang diatur dalam PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Tatib DPRD, rapat-rapat yang digelar tertutup juga bertentangan dengan norma yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Kebabasan Informasi Publik (UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP). Sebagai badan publik, DPRD mempunyai tanggung jawab penuh untuk membuka dan menyediakan informasi secara layak kepada publik. Salah satunya informasi menyangkut dinamika yang terjadi dalam setiap rapat-rapat yang digelar oleh DPRD. Publik berhak tahu. Bagaimana sikap dan keseriusan wakil-wakilnya dalam memperjuangkan aspirasinya masing-masing. Hal ini termasuk juga hak publik untuk mengetahui keputusan-keputusan yang diambil dalam setiap rapat-rapat DPRD, beserta dasar pertimbangan-pertimbangannya. Dalam ketentuan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP, informasi seputar jalannya rapat serta keputusan-keputusan yang dihasilkan dikategorikan sebagai informasi yang wajib disediakan setiap saat oleh badan publik.

RUANG TRANSAKSIONAL

Tidak jarang kita menemukan DPRD menggelar rapat-rapat yang sifatnya tertutup. Padahal tidak memiliki alasan yang memadai. Kondisi ini sering kita dapati. Terutama ketika DPRD sedang membahas agenda yang berkaitan dengan anggaran. Mulai dari pembahasan APBD di setiap tahapan, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) pemerintah, laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), rapat-rapat antara Badan Anggara (Banggar) DPRD dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), hingga yang terbaru adalah pembahasan refocusing dan rasionalisasi anggaran. Guna percepatan penanganan pandemi COVID-19.

Pertanyaannya, kenapa rapat-rapat tersebut harus dilakukan secara tertutup? Ketertutupan pembahasan yang berkenaan dengan anggaran ini, mengindikasikan beberapa hal: pertama, politik transaksional. Salah satu karakteristik dari politik transaksional adalah aktivitas yang dilakukan di ruang-ruang tertutup. Untuk mengelabui “moral publik” dan menghindari tuntutan “etika parlementarian”, maka pengawasan publik mesti mereka hindari.

Kedua, pembahasan dalam ruang-ruang tertutup bermakna mereka memang sedang merencanakan kejahatan. Persekongkolan selalu berawal dari lorong-lorong gelap yang jauh dari jangkauan publik. Jika pembahasan anggaran dilakukan melalui rapat-rapat tertutup, itu artinya sedang ada rencana untuk “mengaburkan” fakta sekaligus “menghilangkan” jejak kejahatan yang dilakukan.

Ketiga, perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang mengarah kepada tindak pidana korupsi. Kita harus paham jika korupsi itu subur dan berkembang dalam ruang-ruang gelap. Logikanya, tidak akan ada suap dan gratifikasi di tengah keramaian yang penuh dengan pantauan publik. Karena alasan inilah kenapa prinsip “transparansi” dan “keterbukaan” selalu dijadikan anti-tesa untuk melawan korupsi. Sebab hanya dengan keterbukaan dan transparansi inilah kita bisa meminimalisasi tindakan-tindakan korup dari para pejabat dan penyelenggara negara. Termasuk DPRD.

Dengan demikian, sesungguhnya rapat-rapat tertutup yang dilakukan oleh DPRD, terlebih jika dilakukan dalam forum rapat paripurna dan rapat dengar pendapat umum, tidak hanya bertentangan dengan prinsip-prinsip keterbukaan dan transparansi, serta kebebasan informasi yang dilindungi oleh konstitusi dan perundang-undangan kita, namun juga melanggar norma hukum (legal norm) yang berlaku. Oleh sebab itu, DPRD dapat dikatakan telah melakukan semacam pembangkangan hukum (disobedience of law) karena tidak patuh terhadap ketentuan yang berlaku. Terlebih lagi, aturan-aturan itu justru dibuat oleh mereka sendiri.

Demikian pula rapat-rapat tertutup yang diputuskan secara subjektif tanpa dasar yang kuat. Jelas ini adalah bentuk pengingkaran terhadap nalar publik dan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Sebab rapat tertutup semacam itu hanya akan menyuburkan korupsi, dan melanggengkan politik transaksional. (*Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Mulawarman)

Loading

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *