Indcyber.com, Kutai Kartanegara – Polemik penanganan kecelakaan kapal kembali mencuat setelah Kanit Polairud Kukar, Agus Fahroroji, melalui anggotanya di ruang Satpolairud Kukar Lantai 2, menegaskan bahwa pihaknya tidak memiliki kapasitas untuk menahan kapal yang menabrak ataupun menekan pihak penabrak.
Menurutnya, Satpolairud hanya bertindak sebagai mediator. “Kewenangan menahan kapal ada di KSOP Samarinda. Satpolairud Kukar hanya menengahi atau mediator, tidak ada kewenangan untuk menekan pihak penabrak. Jika ada korban meninggal, baru kami yang menangani karena ada pidananya,” ujar seorang anggota Polairud menirukan keterangan Kanit Agus Fahroroji.
Pernyataan itu memicu kekecewaan Suryadi Nata, Ketua Lembaga Aliansi Indonesia Badan Penelitian Aset Negara Komando Garuda Sakti (LAI BPAN KGS) Kaltim, yang datang untuk menyerahkan surat titipan korban pemilik kapal.
Suryadi menilai aparat justru saling lempar tanggung jawab. “Kami tanya soal kewenangan menahan kapal penabrak, Polairud jawab KSOP. Tapi pihak KSOP bilang kewenangannya hanya izin gerak kapal. Jadi siapa yang bertanggung jawab menyelesaikan tabrakan kapal ini? Kalau begini, korban tiap hari menanggung beban hidup orang banyak terkait kapal yang ditabrak itu,” tegasnya.
Landasan Hukum yang Dilanggar
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 259 ayat (1) dengan jelas menyebutkan bahwa pemeriksaan kecelakaan kapal dilakukan oleh pejabat penyidik pegawai negeri sipil di bidang pelayaran, yang dalam hal ini KSOP wajib melaksanakan kewenangan tersebut.
Sementara itu, KUHP Pasal 360 mengatur bahwa setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan orang lain luka berat atau meninggal dunia, dapat dijerat pidana.
Selain itu, PP Nomor 9 Tahun 2010 Pasal 10 ayat (1) yang dijadikan rujukan oleh Kanit Polairud Kukar, pada dasarnya hanya mengatur tentang fungsi pengawasan, bukan membatasi kewenangan penindakan ketika terjadi tindak pidana atau kerugian besar.
Kritik Tajam
Pernyataan aparat yang terkesan “cuci tangan” dinilai publik sebagai bentuk abainya penegakan hukum terhadap nasib korban. Bukannya memberi perlindungan hukum, yang terjadi justru tarik-ulur kewenangan antarinstansi.
Padahal, Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia jelas mengamanatkan bahwa Polri berkewajiban memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat serta menegakkan hukum.
Jika kondisi ini dibiarkan, maka bukan hanya kapal korban yang hancur, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum akan karam.(RA)
![]()

